pmuqi.com

Seminar Pendidikan Karakter: Pengurus ISPA 2025 Dibekali Pemahaman tentang Pencegahan Kekerasan

source : UQITV

Bogor, Majalah MISSI – Majelis Pembimbing Organisasi (MPO) Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PMUQI) menggelar seminar pendidikan karakter bertajuk “Membangun Pengurus ISPA 2025 yang Amanah dan Ramah: Cerdas Mengelola Emosi, Anti Narkoba, dan Bullying”. Seminar yang dihadiri oleh 186 santri putra pengurus Ikatan Santri Putra (ISPA) ini bertujuan membentuk kepemimpinan santri yang bertanggung jawab dan anti tindakan kekerasan di lingkungan pesantren. Sabtu, (1/2/2025)

Seminar berlangsung di Auditorium Kampus Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) pada Sabtu (1/2/2025) dengan menghadirkan dua narasumber utama, yakni alumni PMUQI angkatan ke-5 yang kini berprofesi sebagai pengacara, Abdul Wahab, M.H., serta perwakilan dari Polres Bogor Sektor Leuwiliang, AKP Fajar Hidayat, S.H.

Dalam pemaparannya, AKP Fajar Hidayat membahas penyebaran narkoba di lingkungan masyarakat serta menegaskan pentingnya peran pengurus dalam menegakkan aturan di pesantren. Ia mengingatkan bahwa amanah yang diberikan kepada pengurus harus dijaga dengan baik agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

“Jangan sampai kita yang telah dipercaya malah mencelakai diri kita sendiri. Kadang kita punya niat baik, tetapi kita melakukannya secara berlebihan. Jangan sampai nanti kita menyesal,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pengasuhan PMUQI, Ust. Asep Saeful Umar, menyoroti maraknya kasus kekerasan fisik yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang kerap menjadi sorotan di media sosial.

“Saya yakin semua santri di hadapan saya ini adalah anak baik, tetapi kita tetap harus memberikan pengetahuan tentang bullying, kekerasan fisik, dan narkoba,” tegasnya.

Menanggapi isu kekerasan di pesantren, Abdul Wahab menjelaskan aspek hukum terkait perlindungan anak, khususnya dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang telah diperbarui melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Ia menekankan bahwa pengurus harus memberikan sanksi kepada santri yang melanggar aturan tanpa menggunakan kekerasan fisik atau tindakan emosional.

“Mental santri zaman sekarang berbeda dengan generasi sebelumnya, sehingga pendekatan dalam pemberian sanksi harus dilakukan dengan penuh pertimbangan,” jelasnya.

Sebagai seorang pengacara, Abdul Wahab juga menegaskan komitmennya untuk membela santri dalam menegakkan hukum yang telah ditetapkan oleh pesantren, terutama jika terjadi tuduhan atau laporan yang merugikan pengurus. Ia menyarankan agar pemberian sanksi mengedepankan norma, etika, serta memberikan opsi hukuman yang mendidik.

“Kita bisa memberikan pilihan sanksi, tetapi jangan sampai harga diri dan martabat kita turun hanya karena beberapa rupiah,” ujarnya.

Ust. Rukiyantoro, selaku staf bagian keamanan pesantren, turut menanggapi fenomena kekerasan di lingkungan pendidikan. Menurutnya, kasus kekerasan fisik di pesantren mengalami penurunan dari tahun ke tahun, meskipun belum sepenuhnya hilang.

“Kasus ini diperburuk oleh pengaruh media sosial. Tentu ini menjadi bahan evaluasi bagi pesantren untuk terus memperbarui sistem dan dinamika pendidikan,” ungkapnya.