

Ahmad Thursina Roja
Kontributor
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Jombang, Jawa Timur, dengan nama Muhammad Hasyim. Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah seorang santri asal Demak, Jawa Tengah, yang kemudian menikah dengan Halimah, putri Kiai Usman dari Pesantren Nggedang, Jombang. Dari pasangan ini lahir sebelas anak, salah satunya Muhammad Hasyim.
Sebagai anak keluarga pesantren, Muhammad Hasyim mendapatkan pendidikan dasar dari ayahnya, Kiai Asy’ari, yang mendirikan Pesantren Keras di Jombang Selatan pada 1876. Di usia 13 tahun, ia sudah mulai mengajar santri.
Pada usia 15 tahun, Muhammad Hasyim memulai pengembaraannya. Ia belajar di berbagai pesantren besar, seperti Pesantren Wonorejo (Jombang), Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Kademangan (Madura), di bawah bimbingan Kiai Kholil Bangkalan.
Di usia 20 tahun, Hasyim melanjutkan studi ke Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) dan menikah dengan Khadijah, putri Kiai Ya’kub. Setelah menikah, ia dan istrinya berangkat ke Makkah untuk berhaji dan menuntut ilmu. Selama delapan tahun di sana, ia belajar kepada ulama terkemuka, termasuk Syaikh Mahfudz at-Tarmasi, dari mana ia memperoleh ijazah Shahih Bukhari.
Sekembalinya ke tanah air pada 1899, Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Awalnya hanya ada delapan santri, namun pesantren ini berkembang pesat meskipun menghadapi tantangan besar dari masyarakat sekitar. Pada 1916, sistem pendidikan klasikal diperkenalkan, disusul dengan kurikulum pelajaran umum pada 1919. Pesantren Tebuireng menjadi salah satu pesantren paling berpengaruh di abad ke-20.
Pada 31 Januari 1926, K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Wahab Hasbullah mendirikan Komite Hijaz, yang kemudian menjadi cikal bakal Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini bertujuan menjaga keberagaman dalam Islam dan melindungi kepentingan kaum muslim tradisionalis. Ia menjabat sebagai Rais Syuriah pertama NU.
Selama pendudukan Jepang, Kiai Hasyim menolak kewajiban seikerei dan mengalami penahanan. Setelah bebas, ia mendukung perjuangan kemerdekaan dengan mengeluarkan fatwa jihad pada 17 September 1945. Fatwa ini menjadi dasar Resolusi Jihad NU, yang memotivasi perlawanan rakyat terhadap Belanda. Resolusi ini menandai kontribusi besar NU dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
K.H. Hasyim Asy’ari meninggalkan banyak karya tulis, termasuk:
- At-Tibyan (tentang persaudaraan umat Islam)
- Risalah fi Ta’kid Al-Akhdzi (pentingnya bermazhab empat)
- Ar-Risalah fi At-Tasawuf (risalah tasawuf)
- Tamyiz Al-Haq min Al-Bathil (penjelasan tentang tarekat).
K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 setelah mendengar kabar jatuhnya Malang ke tangan Belanda. Ia dikenang sebagai pejuang kemerdekaan, ulama besar, dan tokoh nasional. Pada 17 November 1964, ia resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.
Berita Terkini:
-
Sanlat UQI ke-10, Tanamkan Kebiasaan Positif Selama Liburan
-
Perpulangan Ramadhan 2025, Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami Berangkatkan 40 Bus
-
Kiayi Saiful Falah Sampaikan Nasihat Perpulangan: Santri Harus Jadi Teladan
-
Santri PMUQI Raih Juara di Ajang National Students Competition
-
PMUQI Undang Wakil Menteri Koperasi dalam Acara Buka Bersama
-
PMUQI Bersiap Membangun Dapur Makan Siang Gratis
-
Wujud Kepedulian di Bulan Ramadhan, PMUQI Adakan Booth for Shodaqoh